Recent twitter entries...

Tampilkan postingan dengan label horor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label horor. Tampilkan semua postingan

F.O.T.O

1
Aku tinggal di rumah yang begitu megahnya, banyak kamar yang tidak terpakai. Kisahku berawal dari keluargaku yang pindah dari kota yang satu ke kota yang lain, karena ayahku bekerja sebagai pilot, jadi ayahku selalu berpindah kerja menurut jadwal yang harus dia kerjakan. Saat ini kami tinggal di kota yang sedikit jauh dari keramaian, tidak banyak orang yang menempati kota ini, konon katanya kota ini berhantu, banyak orang yang pergi karena para hantu di kota itu tidak menginginkan ada orang yang menempati rumah mereka. Tapi aku dan keluargaku tidak bisa pindah kemana-mana karena rumah yang kami tempati adalah rumah pemberian dari pemerintah, jadi kami hanya menempatinya tanpa harus membayar. Aku hanya tinggal dengan ayah ibu dan adik kecilku yang berumur 2 tahun. Aku sendiri berumur 17 tahun. Kadang kala rumah ini sangat mengerikan, mungkin karena rumah ini terlalu besar untuk di tempati 4 orang. Dapur dan kamar kami terletak sangat jauh, sampai aku tidak dapat mendengar saat ibuku memanggilku untuk makan. Kamar tidurku berada di lantai atas dan ayah ibuku dan adikku berada di lantai bawah, jadi aku tinggal sendirian di atas. Rumah ini mempunyai halaman depan yang sangat luas, tetapi tidak terawat karena sudah lama tidak dihuni. Ayahku jarang sekali berada di rumah, karena harus menjalankan tugasnya sebagai seorang pilot. Jadi ayahku jarang sekali berada di rumah.Hari minggu ayahku merencanakan pulang cepat karena ingin makan malam untuk merayakan pesta perkawinannya dengan ibuku, ibuku sangat senang dengan hari ini, dan ibuku memasak banyak hanya untuk kami, kami tidak mengundang tamu karena kami jauh dari keluarga, dan kami tidak mengenal orang-orang yang tinggal di kota ini. Dan kejadian yang sangat menakutkan siang itu terjadi dengan sangat tidak di harapkan. Ibuku sedang sibuk dengan memasak, adikku sedang bermain di ruang tamu dan aku sedang bermain gitar kesayanganku. Saat aku memulai memainkan gitarku, aku mendengar orang sedang bernyanyi, dan aku segera berhenti memainkannya, dan orang tersebut juga berhenti bernyanyi. Untuk pertama kalinya aku tidak peduli, dan aku memainkan gitarku lagi, dan lagi orang tersebut mulai bernyanyi, suara itu adalah suara seorang laki-laki yang aku pikir mungkin sudah berumur 70 tahun. Aku sudah merasa tidak tenang, dan aku memainkan gitarku untuk yang ketiga kalinya, dan orang itu bernyanyi, karena sangat takut aku berteriak ’Ibuuuu..’ dan lari secepat mungkin untuk memberi tahu apa yang telah terjadi. Saat aku berada di dapur aku tidak menemukan ibuku, tetapi aku melihat darah yang berceceran di lantai. Aku semakin takut, dan berteriak lagi, ’ibu..ibu..ibu di mana? aku takut’. Tapi ibuku tidak menjawab sepatah katapun. Aku sangat ketakutan, aku berlarian di rumah dan mencari di mana ibu dan adikku berada, tetapi aku tidak dapat menemukannya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi kepadaku, dan mengapa ibuku meninggalkan aku sendirian di rumah ini. Karena aku tidak dapat menemukan ibu dan adikku, aku kembali lagi ke kamar dan mencoba untuk tidur. Saat aku memejamkan mataku, dan menghela nafas dan menucapkan ’semua akan baik-baik saja, aku tidak harus takut, ini adalah rumahku’ saat aku berhenti berbicara tiba-tiba ada yang menirukan perkataanku,”semua akan baik-baik saja, aku tidak harus takut, ini adalah rumahku.” Aku langsung bangun dan memandang seluruh kamar tidurku, dan aku bertanya dengan berani, ’siapa itu? Jangan ganggu aku! Karena aku juga tidak menggangu kamu.’ Aku tidak mendengar lagi suara itu, tetapi tiba-tiba pintu kamarku terbuka dan angin kencang masuk ke kamarku. Sangat dingin, dan aku menjadi pucat pasi dan tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya berdoa dan memanggil ibuku berkali-kali. Setelah beberapa menit angin itu hilang dan pintu kamarku tertutup kembali. Lalu dengan cepat aku keluar kamarku dan kembali lagi ke dapur mungkin ibuku berada di sana. Ku temukan ibuku sedang memasak dan adikku sedang bermain dengan mainannya. Dengan sangat marah aku memanggil ibuku, ’IBU..mengapa ibu tega melakukan hal ini kepadaku?’ ibuku sangat bingung dengan apa yang aku ucapkan, ’apa maksudmu? Aku tidak mengerti’ ’mengapa ibu meninggalkan aku seorang diri di rumah, aku mencari ibu tadi di dapur tetapi ibu tidak ada, adik juga tidak ada. Aku juga melihat darah berada di lantai, dan kejadian aneh yang aku alami’ ’apa yang kamu maksudkan? Ibu tidak mengerti. Ibu seharian berada di dapur untuk memasak dan adikmu selalu bermain di sana sendirian, dan ibu tidak melihat kamu seharian, dan ibu pikir mungkin kamu sedang sibuk dengan aktivitasmu’ ’tidak mungkin ibu, ibu jangan malu untuk mengakui bahwa ibu meninggalkanku dalam ketakutan’ ’mana mungkin seorang ibu melakukan hal itu kepada anak sendiri, dan hari ini adalah hari yang istimewa untuk ibu dan ayah, ibu tidak akan melakukan hal yang bodoh untuk anak sendiri.’ Makanan yang ibu masak tiba-tiba jatuh, aku dan ibuku sangat terkejut dan merasa hal yang aneh. Ibuku kesal karena makanan selalu jatuh, dan ini untuk yang ke dua kalinya. Ibuku mulai merasa ada hal yang aneh, dan kami berdua mulai sedikit takut, tetapi ibuku meyakinkan aku bahwa tidak ada apa-apa. Lalu ada suara yang menyahut, ’tidak ada apa-apa’. Aku menjerit ’Ibu aku takut..’ ’jangan takut ibu disini’ suara itu juga menirukan apa yang kita ucapkan, lalu aku dan ibuku mendatangi adikku yang sedang bermain sendiri. Karena adikku belum bisa berbicara jadi adikku tidak mengatakan apapun dan dia masih sibuk dengan permainannya.Ibuku memandangi adikku, dia terlihat biasa saja. Kami memandangi dan melihat gerak gerik yang dia perbuat. Dengan memindahkan permainannya setiap saat, tiba-tiba ibuku dan aku terkejut karena permainannya selalu berubah, dan bergerak seolah adikku bermain dengan seseorang, dan kadang adikku memperlihatkan tanda dari raut mukanya saat dia senang atau marah. Aku menemukan sebuah foto di bawah karpet di mana kami duduk. Di foto itu adalah sepasang suami istri, Aku memperhatikan foto yang pria bahwa dia adalah seorang pilot juga, lalu aku tunjukkan foto itu kepada ibuku. Dan ibuku membaca tulisan yang ada di belakangnya yang tertulis, ’perayaan pernikahan kami yang ke 70 tahun.’Kami semua menjadi sangat akut, ternyata benar apa kata orang-orang, bahwa kota ini harus di tinggalkan, karena setiap rumah sudah ada penghuninya. Dan mereka tidak suka di ganggu oleh sebab itu masakanku selalu jatuh, karena aku tahu bahwa hari ini adalah hari pernikahan mereka, jadi mereka juga mau merayakannya juga. Setelah kejadian siang ini ibuku tidak ingin lagi menempati rumah ini, walupun megah tetapi tidak nyama untuk di tempati. Dan saat malam hari ayahku datang, dia terkejut karena tidak ada makan malam, lalu ibuku menyampaikan apa yang terjadi, dan begitu pula aku, aku menceritakan semuanya. Lalu dengan tidak menunggu lama, kita langsung berkemas dan meninggalkan rumah itu. Saat ayahku menyalakan mobil, semua lampu rumah mati, sehingga menjadi sangat gelap, dan pintu gerbang terbuka dengan sendirinya. Kami semua melihat dengan mata terbuka, dengan terbukanya pintu gerbang itu kami mengerti bahwa kami harus pergi. Dan dengan cepat ayahku menjalankan mobilnya, dan kita telah jauh dari rumah itu. Aku memandangi adikku, dan aku menemukan di tangan adikku, dia sedang menggenggam foto, foto yang sama yang kami temukan di ruang tamu. Tetapi di belakang foto tidak terdapat tulisan. Ini sangat mengejutkan aku ibu dan ayahku.

Hilang Di Gerbong Hantu

0
Sudah empat puluh hari berlalu, tapi peristiwa tragis sekaligus mengerikan itu masih terbayang jelas di benak setiap warga Dusun Betal. Siapa yang bisa melupakan seratus orang yang meninggal dunia begitu saja? Seratus orang meninggal dunia, puluhan lainnya luka berat dan ringan, dan beberapa hilang tak ditemukan jazadnya hingga kini. Tiga gerbong hancur di sungai di dasar jurang! Peristiwa naas itu masih menyisakan banyak misteri, dari awal hingga kini. Penyelidikan sudah dimulai bersamaan dengan evakuasi jenazah korban dari dasar sungai, tapi penyebab kecelakaan tunggal kereta api malam itu belum dapat dipastikan. Bagaimana mungkin tiga gerbong belakang dari rangkaian kereta itu bisa lepas, keluar dari jalur rel dan akhirnya terpuruk ke dalam sungai di dasar jurang. Tiga gerbong terakhir yang membawa hampir 200 penumpang, terlebih dahulu menghantam besi baja tiang jembatan bagian kiri, sebelum akhirnya terhempas di dasar jurang dan hanya setengah dari seluruh penumpangnya yang selamat. Sepekan penuh penduduk Dusun Betal ikut membantu tim evakuasi. Mengumpulkan seluruh korban meninggal dunia yang bisa ditemukan dan akhirnya mengangkat bangkai gerbong dari sungai di kedalaman jurang sedalam 20 meter itu. Dan misteri masih berlanjut. “Kamu bisa bayangkan, Han? Seratus jiwa melayang. Seratus orang meninggal secara tak wajar di tempat, waktu dan penyebab yang sama.” Han mendengarkan penuturan sahabatnya itu dengan seksama. Ia menahan napas, membayangkan seandainya ia menjadi bagian dari kecelakaan kereta api tersebut. Han sama sekali tidak terkejut dengan cerita itu. Margo sudah menceritakannya beberapa kali dan ia sendiri sudah membaca beritanya di koran-koran lebih dari sebulan yang lalu.
Justru untuk semua itulah maksud dan tujuan Han yang sebenarnya datang ke Betal. Bukan piknik dan sekedar menghabiskan libur sekolah di desa Margo yang sunyi ini. Han mengunjungi Betal untuk suatu tujuan yang bagi Margo adalah gila dan tidak masuk akal. “Dimana lokasi rel kereta api itu? Dimana persisnya jembatan dan jurang itu?” “Kamu mau makan apa, Han?” Margo membelokkan pembicaraan, karena baru membayangkan kembali peristiwa itu saja ia sudah merinding. “Lupakan basa-basimu! Aku kemari bukan untuk makan!” Han berdiri menunggu. Margo menatap teman sekamarnya itu lekat-lekat. Ia tahu Han sangat serius dengan niatnya. Margo sangat paham pada jiwa petualang yang melekat pada sosok temannya yang satu ini. Mereka sudah bersahabat hampir selama 2 tahun belakangan ini, sejak menjadi teman se-SMA dan juga teman satu pondokan. Han dan Margo tinggal sekamar di rumah kos. Bukan pertama kali ini Han mengunjungi rumah Margo di Betal. Tapi kali ini tujuannya bukan sekedar untuk refreshing menikmati udara pedesaan atau hura-hura. Han berniat untuk merekam hantu! Margo tak bisa menolak keinginan keras sahabatnya itu. Margo yakin, jika ia menolak, Han tetap akan melakukannya sendiri. “Tugasmu hanya merekamnya. Aku sendiri yang akan menghadapi gerbong -gerbong hantu itu.” Han memperlihatkan handycam-nya. Han punya hobi membuat film-film pendek dengan handycam-nya. Kamera itu selalu dibawanya kemana-mana, juga selalu menemaninya di rumah kos. Margo sudah belajar banyak dari Han bagaimana menggunakan alat itu. Tidak sulit. “Kita makan dulu, Han.” “Ah, aku sudah nggak sabar untuk ...” “Masih lama! Mana ada hantu melakukan penampakan di siang hari bolong begini?! ” bentak Margo agak kesal. “Hantu itu munculnya selalu malam hari. Dan entah kenapa waktunya hampir selalu sama, sekitar jam sembilan malam, hampir sama dengan saat terjadinya musibah maut itu.” Han terkekeh. Ia senang pada akhirnya Margo menyerah juga. “Oke, kita makan dulu. Ibumu menyiapkan menu favoritku seperti dulu?”
Margo menggeleng. Kembali bulu kuduknya meremang. “Kamu nggak nyiapin ikan buat aku?” Han melotot. “Nggak ada lagi orang yang berani memancing dan mencari ikan di sungai sejak saat itu. Mungkin karena semua membayangkan ikan-ikan disungai itu memakan bagian-bagian tubuh yang tertinggal di dasar sungai. Atau karena hantu-hantu itu? Dulu banyak orang memancing di malam hari, sekarang... jangankan memancing. Lewat di dekat sungai saja orang jadi enggan.” “Bukan enggan, tapi takut! Dasar!” Han mengeluarkan keluhan. Hilang sudah bayangannya tentang ikan bakar yang lezat yang beberapa kali pernah ia nikmati di Betal. “Siapa yang nggak takut, Han? Cuma orang gila macam kamu aja yang sok punya mental baja. Gerbong hantu itu bukan cuma isapan jempol belaka. Puluhan orang mengaku pernah melihatnya. Setiap malam gerbong hantu itu selalu melintasi dusun ini. Setiap malam!” “Kamu melihatnya sendiri?” Margo menggeleng. “Nah? Kamu belum pernah membuktikannya sendiri, tapi kamu percaya. Berkali-kali kubilang, segala cerita gaib macam itu hampir nggak pernah terbukti. Semua cuma ucapan dari mulut ke mulut yang penuh kebohongan dengan tujuan menakut-nakuti anak kecil. Kamu tahu tayangan-tayangan misteri di televisi itu? Semua bohong! Semua rekayasa kamera!” “Terserah kamu,” Margo berkata lirih. “Kita harus membuktikannya sendiri. Malam ini dan besok aku ingin membuktikannya sendiri. Itu bukan gerbong hantu. Itu memang hanya kereta api sungguhan yang melintas.” “Tapi nggak pernah ada lokomotifnya, Han. Mana ada gerbong bisa berjalan sendiri tanpa lokomotif dan kemudian menghilang begitu saja?” “Kita buktikan dengan mata kepala kita sendiri. Aku akan menghadapinya dan kamu merekamnya dengan handycam-ku.” “Aku hanya merekamnya. Tugasku hanya memegang handycam,” ulang Margo. “Ya. Kalau kamu takut, kamu boleh merekamnya dari jauh dan menggunakan zoom. Tapi pastikan kamu nggak out of focus. Pastikan kamu mendapatkan gambar yang sempurna.
Malam nanti akan ada bulan di langit yang ikut membantu memberikan cahaya untuk hasil rekaman yang lebih baik.” Margo mengangguk ragu. Han memang tak bisa dibantah. “Tapi... kuminta kamu nggak usah membicarakannya di depan orang tuaku. Mereka bisa pingsan mendengar niat dan tujuanmu kemari.” Han tersenyum puas. Sejak pukul 20.00 mereka sudah berada di tempat itu. Limapuluh meter dari rel lintasan kereta api, seratus meter dari jembatan tempat kejadian naas itu. Margo tak mau lebih dekat lagi, meski berkali-kali Han membujuknya. Pertama karena ia memang takut. Kedua, ia merasa perlu berlindung di balik pohon-pohon ketika merekam karena tak ingin menarik perhatian jika kebetulan ada orang yang melintas di tempat itu. Han berkali-kali tertawa kecil. Dia tetap berkeyakinan kedatangannya kemari hanya untuk membuktikan sebuah kebohongan. Gerbong hantu itu cuma cerita horor rekaan untuk menakut-nakuti orang bermental semut! Margo sudah siap dengan kameranya. Tinggal pijit satu tombol kapan pun diperlukan. Han gelisah, seperti tak sabar menunggu peristiwa yang luar biasa. Margo juga gelisah, keringat dingin merembes di tengkuknya, tangannya gemetar, kakinya juga. Han berkali-kali menengok ke arah lintasan kereta api yang kosong, memandang jauh ke arah selatan. Katanya dari sanalah gerbong-gerbong hantu itu muncul. Setengah jam berlalu, serasa seabad bagi Margo. Dan bagi Han itu adalah penantian yang amat menjengkelkan. “Mana? Mana gerbong hantu itu?” Han berlarian di dekat rel kereta api dengan kesal. Lalu kembali menemui Margo yang tetap berada di balik sebuah batang pohon yang cukup besar. “Mana?” “Mungkin sebentar lagi. Musibah itu terjadi sekitar jam sembilan malam. Orang-orang melihatnya juga sekitar jam sembilan malam.” Margo menaikkan retsleting jaketnya. Udara dingin, angin dingin membuat tubuhnya makin gemetaran. “Kamu tetap siap dengan kameramu?”Margo mengangguk. “Tapi aku makin ragu. Rasanya malam ini kita nggak akan mendapatkan apa-apa.”

Baru saja Han selesai berkata, tiba-tiba angin berhembus lebih kencang, meluruhkan daun-daun kering dari pohon besar tempat Margo berlindung. Han mendongak, menyaksikan bulan sabit yang semula menghiasi langit itu tiba-tiba menghilang ditutup awan hitam. Angin bertiup lebih kencang, meriapkan rambut Han. Margo berdiri mengigil. Jarinya yang memegang tombol record basah oleh keringat dingin. Dan... dari arah selatan sana, sebuah bayangan bergerak ke utara. Mengarah ke posisi mereka. “Gerbong hantu itu ...!” Margo berteriak, tapi suara yang keluar lebih mirip sebuah keluhan. Han cuma tertawa. “Pasti cuma kereta yang lewat. Kamu boleh mulai merekamnya. Sekarang!” Han lantas berlari mendekati rel kereta api, bersiap untuk menyongsong bayangan hitam yang kian mendekat itu. Tak ada sinar lampu, tak ada bunyi mesin. Cuma bunyi menderu, gesekan roda dengan rel besi. Tak ada lokomotif di depan rangkaian tiga gerbong itu! Han terbelalak dan tak berkedip. Dan sebelum ia mampu berpikir banyak, tahu-tahu gerbong-gerbong itu telah berhenti di depannya, menimbulkan bunyi yang menyakitkan telinga. Han berdiri dan tak mampu bergerak. Gerbong-gerbong yang semua gelap itu tiba-tiba terang-benderang. Lampu-lampu di dalamnya menyala cukup terang. Pintu-pintu gerbong terbuka serentak dan dari dalamnya berlompatan turun... Mulut Han terbuka lebar dan tak bisa tertutup lagi. Entah manusia atau apa, tapi makhluk tak berkepala itu berjalan tertatih-tatih ke arahnya. Di belakangnya menyusul seorang laki-laki separuh baya yang kepalanya mengucurkan darah. Baju putihnya bernoda warna merah. Darah! Sesosok tubuh kecil melompat dari atas gerbong dan jatuh terguling dan akhirnya berhenti di dekat kaki Han. Han menatap ke bawah, menyaksikan bocah kecil dengan tubuh yang tak utuh lagi itu mengerang kesakitan. “Papa... papa... mama... mama... sakiiit.... sakiiit...” Seorang perempuan yang lengan kirinya hilang sebatas siku berlari mendapatkan bocah kecil itu.

Bibirnya yang berdarah terbuka, matanya yang berlinang air mata dan darah menatap Han. “Tolonglah kami...” Dari gerbong terakhir melompat turun tiga orang yang tak kalah rusak tubuhnya. Tubuh-tubuh itu mengeluarkan bau anyir dan busuk. Mereka berlari tertatih-tatih dan tahu-tahu telah menyentuh lengan Han. “Di dalam banyak yang terluka... ” kata salah satu dari mereka.Tiga orang itu mendorong Han. Han ingin memberontak, tapi tangan-tangan penuh darah itu seolah melekat di lengannya. Han terdorong, dan tak punya pilihan lain kecuali mengikuti mereka untuk naik dan masuk ke dalam gerbong ketiga. Han menjerit meminta tolong. Hanya sekali, karena berikutnya sebuah tangan yang penuh lumpur telah mendekap mulutnya. Han didorong, masuk ke gerbong itu. Tiba-tiba lampu di ketiga gerbong mendadak padam. Makhluk-makhluk aneh itu berlompatan naik, seperti saling mendahului masuk kembali ke dalam gerbong. Sesaat kemudian ketiga gerbong itu mulai bergerak, berjalan pelan kemudian makin cepat dan akhirnya melesat menuju ke utara. Hanya dalam hitungan beberapa kali kerjapan mata, gerbong itu telah hilang di dalam kegelapan malam. “Haaaannn ...?!!!” Margo berlari ke tepi rel. Memandang ke arah mana gerbong-gerbong itu menghilang. “Han! Han...?! Haaaaannnn... !” kembali Margo berteriak histeris. Tak ada Han. Yang ada hanyalah kesunyian malam. Di sudut kamarnya, Margo terduduk di lantai yang dingin. Tangannya terlipat, memeluk kakinya yang tetap gemetar. Handycam itu masih menyala. Layar kecil itu masih menampilkan gambar-gambar buram dan gelap semata. Suasana di dekat lintasan kereta api yang sunyi. Hanya ada Han yang berlari-lari sendirian. Tak ada orang lain. Tak ada orang-orang dengan tubuh yang rusak berat itu. Tak ada anak kecil yang jatuh menggelinding ke dekat kaki Han. Tak ada gerbong-gerbong itu! Padahal Margo melihat semuanya. Margo yakin telah merekam semua kejadian itu dengan benar. Dimana makhluk-makhluk itu? Dimana gerbong itu? Pintu kamar Margo yang terkunci diketuk dari luar. Terdengar suara ibunya. Margo makin mengigil. Bapak dan ibunya, juga semua orang, sebentar lagi pasti akan menanyakan dimana Han. Lalu apa yang bisa ia katakan?Dimana Han?