Sudah empat puluh hari berlalu, tapi peristiwa tragis sekaligus mengerikan itu masih terbayang jelas di benak setiap warga Dusun Betal. Siapa yang bisa melupakan seratus orang yang meninggal dunia begitu saja? Seratus orang meninggal dunia, puluhan lainnya luka berat dan ringan, dan beberapa hilang tak ditemukan jazadnya hingga kini. Tiga gerbong hancur di sungai di dasar jurang! Peristiwa naas itu masih menyisakan banyak misteri, dari awal hingga kini. Penyelidikan sudah dimulai bersamaan dengan evakuasi jenazah korban dari dasar sungai, tapi penyebab kecelakaan tunggal kereta api malam itu belum dapat dipastikan. Bagaimana mungkin tiga gerbong belakang dari rangkaian kereta itu bisa lepas, keluar dari jalur rel dan akhirnya terpuruk ke dalam sungai di dasar jurang. Tiga gerbong terakhir yang membawa hampir 200 penumpang, terlebih dahulu menghantam besi baja tiang jembatan bagian kiri, sebelum akhirnya terhempas di dasar jurang dan hanya setengah dari seluruh penumpangnya yang selamat. Sepekan penuh penduduk Dusun Betal ikut membantu tim evakuasi. Mengumpulkan seluruh korban meninggal dunia yang bisa ditemukan dan akhirnya mengangkat bangkai gerbong dari sungai di kedalaman jurang sedalam 20 meter itu. Dan misteri masih berlanjut. “Kamu bisa bayangkan, Han? Seratus jiwa melayang. Seratus orang meninggal secara tak wajar di tempat, waktu dan penyebab yang sama.” Han mendengarkan penuturan sahabatnya itu dengan seksama. Ia menahan napas, membayangkan seandainya ia menjadi bagian dari kecelakaan kereta api tersebut. Han sama sekali tidak terkejut dengan cerita itu. Margo sudah menceritakannya beberapa kali dan ia sendiri sudah membaca beritanya di koran-koran lebih dari sebulan yang lalu.
Justru untuk semua itulah maksud dan tujuan Han yang sebenarnya datang ke Betal. Bukan piknik dan sekedar menghabiskan libur sekolah di desa Margo yang sunyi ini. Han mengunjungi Betal untuk suatu tujuan yang bagi Margo adalah gila dan tidak masuk akal. “Dimana lokasi rel kereta api itu? Dimana persisnya jembatan dan jurang itu?” “Kamu mau makan apa, Han?” Margo membelokkan pembicaraan, karena baru membayangkan kembali peristiwa itu saja ia sudah merinding. “Lupakan basa-basimu! Aku kemari bukan untuk makan!” Han berdiri menunggu. Margo menatap teman sekamarnya itu lekat-lekat. Ia tahu Han sangat serius dengan niatnya. Margo sangat paham pada jiwa petualang yang melekat pada sosok temannya yang satu ini. Mereka sudah bersahabat hampir selama 2 tahun belakangan ini, sejak menjadi teman se-SMA dan juga teman satu pondokan. Han dan Margo tinggal sekamar di rumah kos. Bukan pertama kali ini Han mengunjungi rumah Margo di Betal. Tapi kali ini tujuannya bukan sekedar untuk refreshing menikmati udara pedesaan atau hura-hura. Han berniat untuk merekam hantu! Margo tak bisa menolak keinginan keras sahabatnya itu. Margo yakin, jika ia menolak, Han tetap akan melakukannya sendiri. “Tugasmu hanya merekamnya. Aku sendiri yang akan menghadapi gerbong -gerbong hantu itu.” Han memperlihatkan handycam-nya. Han punya hobi membuat film-film pendek dengan handycam-nya. Kamera itu selalu dibawanya kemana-mana, juga selalu menemaninya di rumah kos. Margo sudah belajar banyak dari Han bagaimana menggunakan alat itu. Tidak sulit. “Kita makan dulu, Han.” “Ah, aku sudah nggak sabar untuk ...” “Masih lama! Mana ada hantu melakukan penampakan di siang hari bolong begini?! ” bentak Margo agak kesal. “Hantu itu munculnya selalu malam hari. Dan entah kenapa waktunya hampir selalu sama, sekitar jam sembilan malam, hampir sama dengan saat terjadinya musibah maut itu.” Han terkekeh. Ia senang pada akhirnya Margo menyerah juga. “Oke, kita makan dulu. Ibumu menyiapkan menu favoritku seperti dulu?”
Margo menggeleng. Kembali bulu kuduknya meremang. “Kamu nggak nyiapin ikan buat aku?” Han melotot. “Nggak ada lagi orang yang berani memancing dan mencari ikan di sungai sejak saat itu. Mungkin karena semua membayangkan ikan-ikan disungai itu memakan bagian-bagian tubuh yang tertinggal di dasar sungai. Atau karena hantu-hantu itu? Dulu banyak orang memancing di malam hari, sekarang... jangankan memancing. Lewat di dekat sungai saja orang jadi enggan.” “Bukan enggan, tapi takut! Dasar!” Han mengeluarkan keluhan. Hilang sudah bayangannya tentang ikan bakar yang lezat yang beberapa kali pernah ia nikmati di Betal. “Siapa yang nggak takut, Han? Cuma orang gila macam kamu aja yang sok punya mental baja. Gerbong hantu itu bukan cuma isapan jempol belaka. Puluhan orang mengaku pernah melihatnya. Setiap malam gerbong hantu itu selalu melintasi dusun ini. Setiap malam!” “Kamu melihatnya sendiri?” Margo menggeleng. “Nah? Kamu belum pernah membuktikannya sendiri, tapi kamu percaya. Berkali-kali kubilang, segala cerita gaib macam itu hampir nggak pernah terbukti. Semua cuma ucapan dari mulut ke mulut yang penuh kebohongan dengan tujuan menakut-nakuti anak kecil. Kamu tahu tayangan-tayangan misteri di televisi itu? Semua bohong! Semua rekayasa kamera!” “Terserah kamu,” Margo berkata lirih. “Kita harus membuktikannya sendiri. Malam ini dan besok aku ingin membuktikannya sendiri. Itu bukan gerbong hantu. Itu memang hanya kereta api sungguhan yang melintas.” “Tapi nggak pernah ada lokomotifnya, Han. Mana ada gerbong bisa berjalan sendiri tanpa lokomotif dan kemudian menghilang begitu saja?” “Kita buktikan dengan mata kepala kita sendiri. Aku akan menghadapinya dan kamu merekamnya dengan handycam-ku.” “Aku hanya merekamnya. Tugasku hanya memegang handycam,” ulang Margo. “Ya. Kalau kamu takut, kamu boleh merekamnya dari jauh dan menggunakan zoom. Tapi pastikan kamu nggak out of focus. Pastikan kamu mendapatkan gambar yang sempurna.
Malam nanti akan ada bulan di langit yang ikut membantu memberikan cahaya untuk hasil rekaman yang lebih baik.” Margo mengangguk ragu. Han memang tak bisa dibantah. “Tapi... kuminta kamu nggak usah membicarakannya di depan orang tuaku. Mereka bisa pingsan mendengar niat dan tujuanmu kemari.” Han tersenyum puas. Sejak pukul 20.00 mereka sudah berada di tempat itu. Limapuluh meter dari rel lintasan kereta api, seratus meter dari jembatan tempat kejadian naas itu. Margo tak mau lebih dekat lagi, meski berkali-kali Han membujuknya. Pertama karena ia memang takut. Kedua, ia merasa perlu berlindung di balik pohon-pohon ketika merekam karena tak ingin menarik perhatian jika kebetulan ada orang yang melintas di tempat itu. Han berkali-kali tertawa kecil. Dia tetap berkeyakinan kedatangannya kemari hanya untuk membuktikan sebuah kebohongan. Gerbong hantu itu cuma cerita horor rekaan untuk menakut-nakuti orang bermental semut! Margo sudah siap dengan kameranya. Tinggal pijit satu tombol kapan pun diperlukan. Han gelisah, seperti tak sabar menunggu peristiwa yang luar biasa. Margo juga gelisah, keringat dingin merembes di tengkuknya, tangannya gemetar, kakinya juga. Han berkali-kali menengok ke arah lintasan kereta api yang kosong, memandang jauh ke arah selatan. Katanya dari sanalah gerbong-gerbong hantu itu muncul. Setengah jam berlalu, serasa seabad bagi Margo. Dan bagi Han itu adalah penantian yang amat menjengkelkan. “Mana? Mana gerbong hantu itu?” Han berlarian di dekat rel kereta api dengan kesal. Lalu kembali menemui Margo yang tetap berada di balik sebuah batang pohon yang cukup besar. “Mana?” “Mungkin sebentar lagi. Musibah itu terjadi sekitar jam sembilan malam. Orang-orang melihatnya juga sekitar jam sembilan malam.” Margo menaikkan retsleting jaketnya. Udara dingin, angin dingin membuat tubuhnya makin gemetaran. “Kamu tetap siap dengan kameramu?”Margo mengangguk. “Tapi aku makin ragu. Rasanya malam ini kita nggak akan mendapatkan apa-apa.”
Baru saja Han selesai berkata, tiba-tiba angin berhembus lebih kencang, meluruhkan daun-daun kering dari pohon besar tempat Margo berlindung. Han mendongak, menyaksikan bulan sabit yang semula menghiasi langit itu tiba-tiba menghilang ditutup awan hitam. Angin bertiup lebih kencang, meriapkan rambut Han. Margo berdiri mengigil. Jarinya yang memegang tombol record basah oleh keringat dingin. Dan... dari arah selatan sana, sebuah bayangan bergerak ke utara. Mengarah ke posisi mereka. “Gerbong hantu itu ...!” Margo berteriak, tapi suara yang keluar lebih mirip sebuah keluhan. Han cuma tertawa. “Pasti cuma kereta yang lewat. Kamu boleh mulai merekamnya. Sekarang!” Han lantas berlari mendekati rel kereta api, bersiap untuk menyongsong bayangan hitam yang kian mendekat itu. Tak ada sinar lampu, tak ada bunyi mesin. Cuma bunyi menderu, gesekan roda dengan rel besi. Tak ada lokomotif di depan rangkaian tiga gerbong itu! Han terbelalak dan tak berkedip. Dan sebelum ia mampu berpikir banyak, tahu-tahu gerbong-gerbong itu telah berhenti di depannya, menimbulkan bunyi yang menyakitkan telinga. Han berdiri dan tak mampu bergerak. Gerbong-gerbong yang semua gelap itu tiba-tiba terang-benderang. Lampu-lampu di dalamnya menyala cukup terang. Pintu-pintu gerbong terbuka serentak dan dari dalamnya berlompatan turun... Mulut Han terbuka lebar dan tak bisa tertutup lagi. Entah manusia atau apa, tapi makhluk tak berkepala itu berjalan tertatih-tatih ke arahnya. Di belakangnya menyusul seorang laki-laki separuh baya yang kepalanya mengucurkan darah. Baju putihnya bernoda warna merah. Darah! Sesosok tubuh kecil melompat dari atas gerbong dan jatuh terguling dan akhirnya berhenti di dekat kaki Han. Han menatap ke bawah, menyaksikan bocah kecil dengan tubuh yang tak utuh lagi itu mengerang kesakitan. “Papa... papa... mama... mama... sakiiit.... sakiiit...” Seorang perempuan yang lengan kirinya hilang sebatas siku berlari mendapatkan bocah kecil itu.
Bibirnya yang berdarah terbuka, matanya yang berlinang air mata dan darah menatap Han. “Tolonglah kami...” Dari gerbong terakhir melompat turun tiga orang yang tak kalah rusak tubuhnya. Tubuh-tubuh itu mengeluarkan bau anyir dan busuk. Mereka berlari tertatih-tatih dan tahu-tahu telah menyentuh lengan Han. “Di dalam banyak yang terluka... ” kata salah satu dari mereka.Tiga orang itu mendorong Han. Han ingin memberontak, tapi tangan-tangan penuh darah itu seolah melekat di lengannya. Han terdorong, dan tak punya pilihan lain kecuali mengikuti mereka untuk naik dan masuk ke dalam gerbong ketiga. Han menjerit meminta tolong. Hanya sekali, karena berikutnya sebuah tangan yang penuh lumpur telah mendekap mulutnya. Han didorong, masuk ke gerbong itu. Tiba-tiba lampu di ketiga gerbong mendadak padam. Makhluk-makhluk aneh itu berlompatan naik, seperti saling mendahului masuk kembali ke dalam gerbong. Sesaat kemudian ketiga gerbong itu mulai bergerak, berjalan pelan kemudian makin cepat dan akhirnya melesat menuju ke utara. Hanya dalam hitungan beberapa kali kerjapan mata, gerbong itu telah hilang di dalam kegelapan malam. “Haaaannn ...?!!!” Margo berlari ke tepi rel. Memandang ke arah mana gerbong-gerbong itu menghilang. “Han! Han...?! Haaaaannnn... !” kembali Margo berteriak histeris. Tak ada Han. Yang ada hanyalah kesunyian malam. Di sudut kamarnya, Margo terduduk di lantai yang dingin. Tangannya terlipat, memeluk kakinya yang tetap gemetar. Handycam itu masih menyala. Layar kecil itu masih menampilkan gambar-gambar buram dan gelap semata. Suasana di dekat lintasan kereta api yang sunyi. Hanya ada Han yang berlari-lari sendirian. Tak ada orang lain. Tak ada orang-orang dengan tubuh yang rusak berat itu. Tak ada anak kecil yang jatuh menggelinding ke dekat kaki Han. Tak ada gerbong-gerbong itu! Padahal Margo melihat semuanya. Margo yakin telah merekam semua kejadian itu dengan benar. Dimana makhluk-makhluk itu? Dimana gerbong itu? Pintu kamar Margo yang terkunci diketuk dari luar. Terdengar suara ibunya. Margo makin mengigil. Bapak dan ibunya, juga semua orang, sebentar lagi pasti akan menanyakan dimana Han. Lalu apa yang bisa ia katakan?Dimana Han?
Justru untuk semua itulah maksud dan tujuan Han yang sebenarnya datang ke Betal. Bukan piknik dan sekedar menghabiskan libur sekolah di desa Margo yang sunyi ini. Han mengunjungi Betal untuk suatu tujuan yang bagi Margo adalah gila dan tidak masuk akal. “Dimana lokasi rel kereta api itu? Dimana persisnya jembatan dan jurang itu?” “Kamu mau makan apa, Han?” Margo membelokkan pembicaraan, karena baru membayangkan kembali peristiwa itu saja ia sudah merinding. “Lupakan basa-basimu! Aku kemari bukan untuk makan!” Han berdiri menunggu. Margo menatap teman sekamarnya itu lekat-lekat. Ia tahu Han sangat serius dengan niatnya. Margo sangat paham pada jiwa petualang yang melekat pada sosok temannya yang satu ini. Mereka sudah bersahabat hampir selama 2 tahun belakangan ini, sejak menjadi teman se-SMA dan juga teman satu pondokan. Han dan Margo tinggal sekamar di rumah kos. Bukan pertama kali ini Han mengunjungi rumah Margo di Betal. Tapi kali ini tujuannya bukan sekedar untuk refreshing menikmati udara pedesaan atau hura-hura. Han berniat untuk merekam hantu! Margo tak bisa menolak keinginan keras sahabatnya itu. Margo yakin, jika ia menolak, Han tetap akan melakukannya sendiri. “Tugasmu hanya merekamnya. Aku sendiri yang akan menghadapi gerbong -gerbong hantu itu.” Han memperlihatkan handycam-nya. Han punya hobi membuat film-film pendek dengan handycam-nya. Kamera itu selalu dibawanya kemana-mana, juga selalu menemaninya di rumah kos. Margo sudah belajar banyak dari Han bagaimana menggunakan alat itu. Tidak sulit. “Kita makan dulu, Han.” “Ah, aku sudah nggak sabar untuk ...” “Masih lama! Mana ada hantu melakukan penampakan di siang hari bolong begini?! ” bentak Margo agak kesal. “Hantu itu munculnya selalu malam hari. Dan entah kenapa waktunya hampir selalu sama, sekitar jam sembilan malam, hampir sama dengan saat terjadinya musibah maut itu.” Han terkekeh. Ia senang pada akhirnya Margo menyerah juga. “Oke, kita makan dulu. Ibumu menyiapkan menu favoritku seperti dulu?”
Margo menggeleng. Kembali bulu kuduknya meremang. “Kamu nggak nyiapin ikan buat aku?” Han melotot. “Nggak ada lagi orang yang berani memancing dan mencari ikan di sungai sejak saat itu. Mungkin karena semua membayangkan ikan-ikan disungai itu memakan bagian-bagian tubuh yang tertinggal di dasar sungai. Atau karena hantu-hantu itu? Dulu banyak orang memancing di malam hari, sekarang... jangankan memancing. Lewat di dekat sungai saja orang jadi enggan.” “Bukan enggan, tapi takut! Dasar!” Han mengeluarkan keluhan. Hilang sudah bayangannya tentang ikan bakar yang lezat yang beberapa kali pernah ia nikmati di Betal. “Siapa yang nggak takut, Han? Cuma orang gila macam kamu aja yang sok punya mental baja. Gerbong hantu itu bukan cuma isapan jempol belaka. Puluhan orang mengaku pernah melihatnya. Setiap malam gerbong hantu itu selalu melintasi dusun ini. Setiap malam!” “Kamu melihatnya sendiri?” Margo menggeleng. “Nah? Kamu belum pernah membuktikannya sendiri, tapi kamu percaya. Berkali-kali kubilang, segala cerita gaib macam itu hampir nggak pernah terbukti. Semua cuma ucapan dari mulut ke mulut yang penuh kebohongan dengan tujuan menakut-nakuti anak kecil. Kamu tahu tayangan-tayangan misteri di televisi itu? Semua bohong! Semua rekayasa kamera!” “Terserah kamu,” Margo berkata lirih. “Kita harus membuktikannya sendiri. Malam ini dan besok aku ingin membuktikannya sendiri. Itu bukan gerbong hantu. Itu memang hanya kereta api sungguhan yang melintas.” “Tapi nggak pernah ada lokomotifnya, Han. Mana ada gerbong bisa berjalan sendiri tanpa lokomotif dan kemudian menghilang begitu saja?” “Kita buktikan dengan mata kepala kita sendiri. Aku akan menghadapinya dan kamu merekamnya dengan handycam-ku.” “Aku hanya merekamnya. Tugasku hanya memegang handycam,” ulang Margo. “Ya. Kalau kamu takut, kamu boleh merekamnya dari jauh dan menggunakan zoom. Tapi pastikan kamu nggak out of focus. Pastikan kamu mendapatkan gambar yang sempurna.
Malam nanti akan ada bulan di langit yang ikut membantu memberikan cahaya untuk hasil rekaman yang lebih baik.” Margo mengangguk ragu. Han memang tak bisa dibantah. “Tapi... kuminta kamu nggak usah membicarakannya di depan orang tuaku. Mereka bisa pingsan mendengar niat dan tujuanmu kemari.” Han tersenyum puas. Sejak pukul 20.00 mereka sudah berada di tempat itu. Limapuluh meter dari rel lintasan kereta api, seratus meter dari jembatan tempat kejadian naas itu. Margo tak mau lebih dekat lagi, meski berkali-kali Han membujuknya. Pertama karena ia memang takut. Kedua, ia merasa perlu berlindung di balik pohon-pohon ketika merekam karena tak ingin menarik perhatian jika kebetulan ada orang yang melintas di tempat itu. Han berkali-kali tertawa kecil. Dia tetap berkeyakinan kedatangannya kemari hanya untuk membuktikan sebuah kebohongan. Gerbong hantu itu cuma cerita horor rekaan untuk menakut-nakuti orang bermental semut! Margo sudah siap dengan kameranya. Tinggal pijit satu tombol kapan pun diperlukan. Han gelisah, seperti tak sabar menunggu peristiwa yang luar biasa. Margo juga gelisah, keringat dingin merembes di tengkuknya, tangannya gemetar, kakinya juga. Han berkali-kali menengok ke arah lintasan kereta api yang kosong, memandang jauh ke arah selatan. Katanya dari sanalah gerbong-gerbong hantu itu muncul. Setengah jam berlalu, serasa seabad bagi Margo. Dan bagi Han itu adalah penantian yang amat menjengkelkan. “Mana? Mana gerbong hantu itu?” Han berlarian di dekat rel kereta api dengan kesal. Lalu kembali menemui Margo yang tetap berada di balik sebuah batang pohon yang cukup besar. “Mana?” “Mungkin sebentar lagi. Musibah itu terjadi sekitar jam sembilan malam. Orang-orang melihatnya juga sekitar jam sembilan malam.” Margo menaikkan retsleting jaketnya. Udara dingin, angin dingin membuat tubuhnya makin gemetaran. “Kamu tetap siap dengan kameramu?”Margo mengangguk. “Tapi aku makin ragu. Rasanya malam ini kita nggak akan mendapatkan apa-apa.”
Baru saja Han selesai berkata, tiba-tiba angin berhembus lebih kencang, meluruhkan daun-daun kering dari pohon besar tempat Margo berlindung. Han mendongak, menyaksikan bulan sabit yang semula menghiasi langit itu tiba-tiba menghilang ditutup awan hitam. Angin bertiup lebih kencang, meriapkan rambut Han. Margo berdiri mengigil. Jarinya yang memegang tombol record basah oleh keringat dingin. Dan... dari arah selatan sana, sebuah bayangan bergerak ke utara. Mengarah ke posisi mereka. “Gerbong hantu itu ...!” Margo berteriak, tapi suara yang keluar lebih mirip sebuah keluhan. Han cuma tertawa. “Pasti cuma kereta yang lewat. Kamu boleh mulai merekamnya. Sekarang!” Han lantas berlari mendekati rel kereta api, bersiap untuk menyongsong bayangan hitam yang kian mendekat itu. Tak ada sinar lampu, tak ada bunyi mesin. Cuma bunyi menderu, gesekan roda dengan rel besi. Tak ada lokomotif di depan rangkaian tiga gerbong itu! Han terbelalak dan tak berkedip. Dan sebelum ia mampu berpikir banyak, tahu-tahu gerbong-gerbong itu telah berhenti di depannya, menimbulkan bunyi yang menyakitkan telinga. Han berdiri dan tak mampu bergerak. Gerbong-gerbong yang semua gelap itu tiba-tiba terang-benderang. Lampu-lampu di dalamnya menyala cukup terang. Pintu-pintu gerbong terbuka serentak dan dari dalamnya berlompatan turun... Mulut Han terbuka lebar dan tak bisa tertutup lagi. Entah manusia atau apa, tapi makhluk tak berkepala itu berjalan tertatih-tatih ke arahnya. Di belakangnya menyusul seorang laki-laki separuh baya yang kepalanya mengucurkan darah. Baju putihnya bernoda warna merah. Darah! Sesosok tubuh kecil melompat dari atas gerbong dan jatuh terguling dan akhirnya berhenti di dekat kaki Han. Han menatap ke bawah, menyaksikan bocah kecil dengan tubuh yang tak utuh lagi itu mengerang kesakitan. “Papa... papa... mama... mama... sakiiit.... sakiiit...” Seorang perempuan yang lengan kirinya hilang sebatas siku berlari mendapatkan bocah kecil itu.
Bibirnya yang berdarah terbuka, matanya yang berlinang air mata dan darah menatap Han. “Tolonglah kami...” Dari gerbong terakhir melompat turun tiga orang yang tak kalah rusak tubuhnya. Tubuh-tubuh itu mengeluarkan bau anyir dan busuk. Mereka berlari tertatih-tatih dan tahu-tahu telah menyentuh lengan Han. “Di dalam banyak yang terluka... ” kata salah satu dari mereka.Tiga orang itu mendorong Han. Han ingin memberontak, tapi tangan-tangan penuh darah itu seolah melekat di lengannya. Han terdorong, dan tak punya pilihan lain kecuali mengikuti mereka untuk naik dan masuk ke dalam gerbong ketiga. Han menjerit meminta tolong. Hanya sekali, karena berikutnya sebuah tangan yang penuh lumpur telah mendekap mulutnya. Han didorong, masuk ke gerbong itu. Tiba-tiba lampu di ketiga gerbong mendadak padam. Makhluk-makhluk aneh itu berlompatan naik, seperti saling mendahului masuk kembali ke dalam gerbong. Sesaat kemudian ketiga gerbong itu mulai bergerak, berjalan pelan kemudian makin cepat dan akhirnya melesat menuju ke utara. Hanya dalam hitungan beberapa kali kerjapan mata, gerbong itu telah hilang di dalam kegelapan malam. “Haaaannn ...?!!!” Margo berlari ke tepi rel. Memandang ke arah mana gerbong-gerbong itu menghilang. “Han! Han...?! Haaaaannnn... !” kembali Margo berteriak histeris. Tak ada Han. Yang ada hanyalah kesunyian malam. Di sudut kamarnya, Margo terduduk di lantai yang dingin. Tangannya terlipat, memeluk kakinya yang tetap gemetar. Handycam itu masih menyala. Layar kecil itu masih menampilkan gambar-gambar buram dan gelap semata. Suasana di dekat lintasan kereta api yang sunyi. Hanya ada Han yang berlari-lari sendirian. Tak ada orang lain. Tak ada orang-orang dengan tubuh yang rusak berat itu. Tak ada anak kecil yang jatuh menggelinding ke dekat kaki Han. Tak ada gerbong-gerbong itu! Padahal Margo melihat semuanya. Margo yakin telah merekam semua kejadian itu dengan benar. Dimana makhluk-makhluk itu? Dimana gerbong itu? Pintu kamar Margo yang terkunci diketuk dari luar. Terdengar suara ibunya. Margo makin mengigil. Bapak dan ibunya, juga semua orang, sebentar lagi pasti akan menanyakan dimana Han. Lalu apa yang bisa ia katakan?Dimana Han?
Comments (0)
Posting Komentar