Recent twitter entries...

Pelangi Dalam Hatiku

Namaku Aurora yang artinya cahaya. Orang tuaku memberi nama Aurora padaku dengan harapan aku bisa menjadi lentera dalam hidup mereka yang sepi. Namun aku sendiri tak pernah bisa melihat secercah sinar pun dalam hidupku karena aku terlahir dengan kondisi buta. Mungkin tidak akan ada yang percaya ketika aku bilang aku sangat menyukai pelangi karena pada kenyataannya aku memang tidak dapat melihat pelangi itu melalui mataku. Tapi aku beruntung karena ada dia, Baruna sejak dulu dia selalu menjadi mataku saat pelangi itu muncul. Menggambarkan betapa indahnya lukisan Tuhan yang tiada duanya itu padaku. Berada di sampingku setiap kali pelangi itu muncul bersamaan dengan mentari yang muncul dari balik awan kelabu.
Hei...dengar itu, suara hujan yang dari tadi mengguyur bumi sudah mulai reda. Aku bisa merasakan lembutnya sinar matahari yang memancar dari balik awan kelabu dan berusaha keras mengusir hawa dingin yang tadi menyelubungi bumi.
“Wah, kau memulai tanpa aku ya” tiba-tiba saja ada suara yang mengagetkanku. Suaranya sangat aku kenal, mungkinkah itu dia, Baruna?
“Baruna...kaukah itu?”
“Tentu saja. Kau pikir siapa lagi?” dia tertawa sambil menepuk-nepuk kepalaku dengan pelan lalu duduk di salah satu bangku di beranda itu yang letaknya tepat di sebelahku. Entah apa sebabnya dia mulai berteriak kegirangan, membuatku sedikit terkejut karenanya.
“Ada apa?”
“Pelanginya muncul” ujarnya begitu girang.
“Benarkah? Kamu tidak membohongiku kan?”. Benarkah kali ini pelangi itu muncul atau seperti biasanya Baruna hanya membohongiku saja. Memang maksudnya baik ingin membuatku bahagia tapi itu berlebihan bagiku.
“Bukankah Tuhan akan selalu tersenyum setelah hujan reda dan alam akan menyambutnya dengan suka cita dan menyuguhkan lukisan yang luar biasa pada bumi untuk menunjukkan kemurahan hati Sang Pencipta”
“Jurus itu lagi”
Baruna kembali tertawa geli sambil menepuk-nepuk pelan kepalaku.
“Hei, kemarilah biar kutunjukkan padamu”. Dia membimbingku ke ujung beranda, menggenggam tanganku dengan begitu erat entah apa maksudnya.
“Benar-benar muncul ya? Seperti apa bentuknya?”
“Persis seperti senyummu saat ini, melengkung dengan sempurna. Warnanya terlihat begitu indah merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Hei, lihat itu ada burung yang terbang memutari pelangi itu...”
“Pasti indah, seandainya aku bisa melihatnya” ujarku tertunduk sedih.
“Tenanglah, kau akan selalu melihatnya. Biar aku yang menjadi matamu” ucapnya sambil kembali mengelus-elus kepalaku dengan penuh perhatian.
Baruna, terimakasih. Tapi sampai kapan kamu akan tahan dengan semua ini? Sampai kapan kamu akan tahan berada di sisiku dan menjadi mataku untuk bersama-sama melihat pelangi itu?

¶¶¶

Tadi Baruna telepon dan memintaku menemui dia di taman kompleks. Katanya ada sesuatu yang mau dia tunjukkan padaku, entah apa itu, tapi semoga bukan sesuatu yang aneh seperti yang biasa dia lakukan untuk menjahiliku.
Heh...untung saja cuaca hari ini sangat cerah jadi mama mengijinkanku keluar rumah sendirian. Hei, dengarkan itu suara burung yang saling bersahut-sahutan, benar-benar sangat merdu...
GEDUBRAK!!!! Aduh, sakit...sepertinya aku menabrak sesuatu atau mungkin malah seseorang?
“Hei, kalau jalan pakai mata dong!”. Orang yang aku tabrak itu berteriak-teriak memarahiku, tapi ini memang salahku. Jadi tidak apa-apa...
“Maafkan aku”
Orang itu tampaknya benar-benar tidak terima dan sekarang dia berjalan mengitariku lalu dia dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak mungkin menyadari kalau aku itu buta.
“Pantas saja. Orang nggak punya mata” orang itu merebut paksa tongkatku dan melemparkannya entah kemana. Dia dan teman-temannya kembali tertawa lalu mendorongku hingga jatuh terjengkang.
“Hei, apa yang sedang kau lakukan”. Suara itu? Mungkinkah itu Baruna? Dari nada suaranya aku tahu dia benar-benar marah. Baruna membantuku berdiri dan menyerahkan tongkat yang tadi dibuang oleh gadis itu. “Apa yang sedang kamu lakukan pada dia!” Baruna kembali membentak gadis itu. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan wajah Baruna yang sedang marah seperti saat ini. Pasti sangat menakutkan. Wajahnya yang selalu ceria kadang membuatku lupa kalau dia juga bisa marah.
“Baruna...untuk apa kamu memperdulikan gadis itu, dia itu cuma gadis buta yang tidak berguna. Em...lebih baik sekarang kita pergi dari sini”. Rupanya gadis itu mengenal Baruna dan sepertinya dia menyukai Baruna, lihat saja sekarang dia menggelayut manja di pundak Baruna. Tapi secara kasar Baruna mendorong gadis itu.
“Asal kamu tahu, gadis ini jauh lebih berarti bagiku dari pada kau yang tidak tahu diri itu” ucap Baruna masih dengan nada suara tinggi.
“Apa maksudmu?”
“Dia pacarku”
“Pacarmu? Kamu pasti bercanda” gadis itu kembali tertawa terbahak-bahak tidak percaya dengan apa yang Baruna ucapkan.
“Apa kau melihat wajahku ini seperti sedang bercanda”
“Tidak mungkin! Itu tidak mungkin!” gadis itu berteriak histeris.
“Menyingkirlah!” Baruna mendorong gadis itu agar menjauh darinya lalu menarik tanganku agar segera pergi dari tempat yang tidak menyenangkan itu.
Dia masih terus memegangi tanganku dengan sangat erat belum juga mau melepaskannya. Aku tidak tahu dia mau membawaku kemana. Dari deru nafasnya yang rusuh aku tahu dia masih sangat marah akibat kejadian tadi jadi aku rasa tidak tepat kalau aku bertanya padanya saat ini. Dia berhenti di suatu tempat lalu membantuku duduk di kursi yang ada disitu, aku rasa ini bangku taman sebab aku masih dapat mencium bau segar pepohonan dan rumput yang tumbuh subur di taman ini.
“Hei, kenapa diam” Dia duduk di sebelahku dan suaranya sudah kembali terdengar ceria. Tapi aku tidak tahu dengan raut wajahnya, mungkin dia berusaha menyamarkan suaranya untuk membuatku tidak merasa khawatir.
“Kamu terdengar menakutkan saat marah” kukatakan yang sejujurnya dan dia kembali tertawa. Tawa renyah seperti biasanya dan seperti biasanya pula dia lalu mengelus-elus kepalaku.
“Sudah tidak apa-apa. Maaf kalau membuatmu takut”
“Sepertinya kalian saling mengenal”
“Siapa?”
“Baruna dan gadis itu”
“O...dia. Cuma salah satu gadis sok di sekolahku”
“O...”. Aku tahu ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku saat ini, aku bisa merasakannya dari nafasnya yang tidak teratur sepertinya masih sangat marah. Tapi jujur aku benar-benar tidak sanggup mendengar apa pun lagi mengenai Baruna dan gadis itu, aku tidak tahu kenapa tapi rasanya hatiku jadi merasa sakit. “Em...Baruna terimakasih untuk yang tadi”
Baruna tidak menjawab hanya tersenyum dan kembali mengelus kepalaku pelan.
“Tentang ucapan Baruna yang tadi itu...”
“Kau tidak perlu memikirkannya kalau itu hanya membuatmu tidak nyaman”
“Justru karena itu, tolong beritahu aku” Aku tidak tahu apakah memang ini yang aku inginkan tapi aku benar-benar harus tahu maksud ucapan Baruna saat dia menolongku tadi, apakah itu hanya tipuan saja?
“Aku...aku memang menyukai Aurora”
Dia mengatakannya, dia sungguh-sungguh mengatakannya, sekarang apa yang harus aku lakukan. Aku tidak tahu.
“Kau tidak perlu mengatakan apapun, asalkan kamu tetap membiarkanku berada di sampingmu itu sudah cukup”.
Otakku rasanya jadi beku dan sama sekali tak bisa kugunakan untuk berfikir, aku hanya dapat mengangguk pelan dan tidak tahu harus berkata apa. Tuhan kenapa malah jadi sekaku ini? Tidak bisakah kembali saja seperti semula.
Baruna menarik nafas dengan rusuh lalu tertawa sangat keras sepertinya berusaha untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman itu dari hatinya. “Kubawakan sesuatu untukmu” suaranya kembali ringan seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa tadi. Terimakasih Baruna, terimakasih.
Kuterima benda itu dari tangan Baruna tanpa berkata apa pun, ternyata itu sebuah buku. Tapi yang ini berbeda hurufnya menyembul dan bisa aku rasakan dengan jelas, sebuah buku yang ditulis dengan huruf Braille. Kuraba sampulnya dan kubaca judul buku itu ‘Pelangi Dalam Hatiku’ dan Ya Tuhan pengarangnya adalah Baruna.

Tuhan akan selalu tersenyum saat hujan reda maka alampun akan menyambutnya dengan suka cita. Menyuguhkan lukisan yang begitu indah kepada manusia di bumi untuk menunjukkan kemurahan hati Sang Pencipta.
Maka itulah pelangi yang tercipta dari senyum Tuhan, kemurahan hati Sang Pencipta, suka cita alam semesta, keindahan dan harapan.
Tak pernah kusadari keajaiban itu sampai aku berjumpa dengan gadis ini, seorang gadis yang menunjukkan betapa indahnya pelangi dan harapan yang menyerupai ujung pelangi itu.
Dialah keindahan pelangi itu bagiku, keindahan lengkung pelangi itu adalah senyum yang merekah dari bibirnya dan sinar pelangi itu adalah pancaran cemerlang di matanya. Dialah pelangiku, Pelangi Dalam Hatiku. Aurora.

Comments (0)

Posting Komentar