Ketika malam bertambah gelap dan pergi ke peraduan sambil melepas jubahnya ke atas wajah bumi. Angin malam yang begitu dingin berhembus kencang bersama dengan munculnya tiga makhluk tak kasat mata itu. Mereka adalah Pocong, Kuntilanak dan Genderuwo yang terlihat begitu putus asa dan kebingungan. Dalam kegelapan yang teramat sangat itu mereka seperti sedang terlibat dalam sebuah pembicaraan penting yang tentu saja hanya mampu di dengar oleh telinga setajam kesunyian.
“Cong gossipnya makam kita ini akan digusur dan di atasnya akan dibangun komples perumahan?” ujar Gendoruwo memecahkan keheningan.
“Itu si bukan gossip lagi Mas Genderuwo lihat saja itu cangkul-cangkul yang tergeletak disana dan itu…itu… buldoser itu yang ada di sebelah makam Sundel Bolong katanya akan mulai dioperasikan besok pagi” timpal Kuntilanak yang tidak sabar mendengarkan jawaban Pocong.
“Yah, itu si bukan barang baru lagi. Sebulan yang lalu saja makam yang ada di desa sebelah sudah digusur dan di atasnya dibangun pusat perbelanjaan” ujar Pocong masih tenang-tenang saja.
“Justru karena itu Mas Pocong kita itu tidak boleh diam saja seperti ini, kita itu harus mengambil tindakan yang tegas untuk menggagalkan upaya penggusuran makam kita” tukas Kuntilanak yang mulai disulut amarah.
“Betul itu Cong yang dikatakan Ni Kunti. Mau tinggal dimana kita kalau makam kita digusur” dukung Genderuwo yang juga mulai emosi. “Belum lagi kalau warga kita menuntut penyelesaian masalah ini kepada kita selaku pemimpin mereka bisa tambah mumet kepalaku ini”
“Masalahnya itu upaya apa yang harus dilakukan untuk mencegah penggusuran itu, Genderuwo, Ni Kunti” Pocong terlihat sedang memutar otaknya mencari jalan keluar yang paling tepat.
“Ya, kita lakukan segala cara Cong. Kalau perlu kita takut-takuti saja mereka supaya tidak berani menyentuh makam kita” ujar Genderuwo sambil mengepalkan tangannya.
“Betul itu Mas Pocong kita takut-takuti saja mereka sampai tobat” dukung Kuntilanak yang kehabisan ide untuk menyelesaikan masalah itu.
“Ya tidak segampang itu Ni Kunti, Genderuwo. Kita ini selaku makhluk halus ya punya etika, pantang bagi kita menakut-nakuti manusia sebelum mereka mengganggu ketenangan kita lebih dulu” ujar Pocong bijak.
“Apa rencana untuk menggusur makam kita itu tidak mengganggu ketenangan kita? Ayolah Cong kita kumpulkan warga kita untuk sama-sama mendemo manusia-manusia laknat itu” timpal Genderuwo mulai hilang kesabaran.
“Ngawur kamu ini Genderuwo macam manusia saja kita ikut-ikutan sedikit sedikit demo sedikit sedikit demo” ujar Pocong sambil tertawa tidak habis pikir dengan jalan pikiran Genderuwo.
“Bukan begitu Mas Pocong, maksudnya itu ya kita takut-takuti saja manusia-manusia itu. Iya to Mas Genderuwo?” bela Kuntilanak.
“Betul itu, betul itu maksudku Cong” ujar Genderuwo merasa mendapatkan dukungan.
“Percuma Genderuwo, Ni Kunti lha wong manusia sekarang itu tidak takut kok sama yang namanya makhluk halus macam kita ini. Apalagi kalau sudah dibutakan oleh nafsu dan keserakahan seperti sekarang ini, ya jangan harap rencana macam ini bisa berhasil. Bisa-bisa nanti kita selaku petinggi bangsa kita ini malah disuap oleh mereka untuk lebih memuluskan rencana mereka” jawab Pocong masih sambil berpikir.
“Seenaknya saja kamu kalau ngomong Cong, memangnya kita ini manusia yang doyan sama duit. Kita ini makhluk halus Cong mana doyan kita sama yang begituan” ledak Genderuwo tambah gusar.
“Seenaknya gimana lha wong memang hobinya manusia itu main suap kok” timpal Pocong tidak mau kalah dalam perdebatan itu.
“Ya tapi jangan samakan kita dengan mereka, Cong. Kita ini biarpun makhluk halus masih punya harga diri. Ingat itu Cong harga diri” debat Genderuwo lagi.
“Sudah, sudah kok malah jadi ribut sendiri seperti ini macam manusia saja yang demen ribut dengan bangsanya sendiri. Kita ini kan berkumpul untuk mencari jalan keluar dari masalah yang sedang terjadi ini” potong Kuntilanak yang tidak tahan lagi dengan pertengkaran itu.
“Maaf Ni. Jadi bagaimana menurutmu Cong” ucap Genderuwo mulai melunak.
“Ya, kita ngalah saja Genderuwo, Ni Kunti. Biarkan saja manusia-manusia itu melakukan apa yang mereka mau pada makam kita. Biar mereka tanggung dosanya sendiri” ujar Pocong bijak.
“Lantas kita dan warga kita mau tinggal dimana Cong. Biarpun kita ini makhluk halus kita ini kan butuh tempat tinggal. Masa kita harus hidup menggelandang macam orang-orang jalanan itu” protes Genderuwo.
“Bener itu Mas Pocong. Masa kita harus menjadi gelandangan seperti tidak punya rumah saja” dukung Kuntilanak yang tidak setuju dengan keputusan Pocong yang menurutnya terlalu gegabah.
“Ya, kita terima saja Ni nasib kita. Lha wong makam kita ada juga cuma untuk pajangan saja, tidak ada yang mau merawat. Malah jadi tempat maksiat. Lihat saja yang itu dipojok, sudah tahu kuburan malah dijadikan tempat untuk pacaran. Daripada kita nanti ikut kecipratan dosanya, biar saja makam kita digusur siapa tahu bisa bermanfaat untuk manusia-manusia itu” jelas Pocong bijak.
“Manusia itu memang tidak ada hormat-hormatnya sama kita ya Cong, Ni Kunti” ujar Genderuwo meminta persetujuan.
Pocong dan Kuntilanak menggut-manggut menyetujui ucapan Genderuwo lalu kembali menghilang bersama dengan angin malam yang berhembus.
“Cong gossipnya makam kita ini akan digusur dan di atasnya akan dibangun komples perumahan?” ujar Gendoruwo memecahkan keheningan.
“Itu si bukan gossip lagi Mas Genderuwo lihat saja itu cangkul-cangkul yang tergeletak disana dan itu…itu… buldoser itu yang ada di sebelah makam Sundel Bolong katanya akan mulai dioperasikan besok pagi” timpal Kuntilanak yang tidak sabar mendengarkan jawaban Pocong.
“Yah, itu si bukan barang baru lagi. Sebulan yang lalu saja makam yang ada di desa sebelah sudah digusur dan di atasnya dibangun pusat perbelanjaan” ujar Pocong masih tenang-tenang saja.
“Justru karena itu Mas Pocong kita itu tidak boleh diam saja seperti ini, kita itu harus mengambil tindakan yang tegas untuk menggagalkan upaya penggusuran makam kita” tukas Kuntilanak yang mulai disulut amarah.
“Betul itu Cong yang dikatakan Ni Kunti. Mau tinggal dimana kita kalau makam kita digusur” dukung Genderuwo yang juga mulai emosi. “Belum lagi kalau warga kita menuntut penyelesaian masalah ini kepada kita selaku pemimpin mereka bisa tambah mumet kepalaku ini”
“Masalahnya itu upaya apa yang harus dilakukan untuk mencegah penggusuran itu, Genderuwo, Ni Kunti” Pocong terlihat sedang memutar otaknya mencari jalan keluar yang paling tepat.
“Ya, kita lakukan segala cara Cong. Kalau perlu kita takut-takuti saja mereka supaya tidak berani menyentuh makam kita” ujar Genderuwo sambil mengepalkan tangannya.
“Betul itu Mas Pocong kita takut-takuti saja mereka sampai tobat” dukung Kuntilanak yang kehabisan ide untuk menyelesaikan masalah itu.
“Ya tidak segampang itu Ni Kunti, Genderuwo. Kita ini selaku makhluk halus ya punya etika, pantang bagi kita menakut-nakuti manusia sebelum mereka mengganggu ketenangan kita lebih dulu” ujar Pocong bijak.
“Apa rencana untuk menggusur makam kita itu tidak mengganggu ketenangan kita? Ayolah Cong kita kumpulkan warga kita untuk sama-sama mendemo manusia-manusia laknat itu” timpal Genderuwo mulai hilang kesabaran.
“Ngawur kamu ini Genderuwo macam manusia saja kita ikut-ikutan sedikit sedikit demo sedikit sedikit demo” ujar Pocong sambil tertawa tidak habis pikir dengan jalan pikiran Genderuwo.
“Bukan begitu Mas Pocong, maksudnya itu ya kita takut-takuti saja manusia-manusia itu. Iya to Mas Genderuwo?” bela Kuntilanak.
“Betul itu, betul itu maksudku Cong” ujar Genderuwo merasa mendapatkan dukungan.
“Percuma Genderuwo, Ni Kunti lha wong manusia sekarang itu tidak takut kok sama yang namanya makhluk halus macam kita ini. Apalagi kalau sudah dibutakan oleh nafsu dan keserakahan seperti sekarang ini, ya jangan harap rencana macam ini bisa berhasil. Bisa-bisa nanti kita selaku petinggi bangsa kita ini malah disuap oleh mereka untuk lebih memuluskan rencana mereka” jawab Pocong masih sambil berpikir.
“Seenaknya saja kamu kalau ngomong Cong, memangnya kita ini manusia yang doyan sama duit. Kita ini makhluk halus Cong mana doyan kita sama yang begituan” ledak Genderuwo tambah gusar.
“Seenaknya gimana lha wong memang hobinya manusia itu main suap kok” timpal Pocong tidak mau kalah dalam perdebatan itu.
“Ya tapi jangan samakan kita dengan mereka, Cong. Kita ini biarpun makhluk halus masih punya harga diri. Ingat itu Cong harga diri” debat Genderuwo lagi.
“Sudah, sudah kok malah jadi ribut sendiri seperti ini macam manusia saja yang demen ribut dengan bangsanya sendiri. Kita ini kan berkumpul untuk mencari jalan keluar dari masalah yang sedang terjadi ini” potong Kuntilanak yang tidak tahan lagi dengan pertengkaran itu.
“Maaf Ni. Jadi bagaimana menurutmu Cong” ucap Genderuwo mulai melunak.
“Ya, kita ngalah saja Genderuwo, Ni Kunti. Biarkan saja manusia-manusia itu melakukan apa yang mereka mau pada makam kita. Biar mereka tanggung dosanya sendiri” ujar Pocong bijak.
“Lantas kita dan warga kita mau tinggal dimana Cong. Biarpun kita ini makhluk halus kita ini kan butuh tempat tinggal. Masa kita harus hidup menggelandang macam orang-orang jalanan itu” protes Genderuwo.
“Bener itu Mas Pocong. Masa kita harus menjadi gelandangan seperti tidak punya rumah saja” dukung Kuntilanak yang tidak setuju dengan keputusan Pocong yang menurutnya terlalu gegabah.
“Ya, kita terima saja Ni nasib kita. Lha wong makam kita ada juga cuma untuk pajangan saja, tidak ada yang mau merawat. Malah jadi tempat maksiat. Lihat saja yang itu dipojok, sudah tahu kuburan malah dijadikan tempat untuk pacaran. Daripada kita nanti ikut kecipratan dosanya, biar saja makam kita digusur siapa tahu bisa bermanfaat untuk manusia-manusia itu” jelas Pocong bijak.
“Manusia itu memang tidak ada hormat-hormatnya sama kita ya Cong, Ni Kunti” ujar Genderuwo meminta persetujuan.
Pocong dan Kuntilanak menggut-manggut menyetujui ucapan Genderuwo lalu kembali menghilang bersama dengan angin malam yang berhembus.
Comments (0)
Posting Komentar